Rabu, 21 November 2012

Kisah Anak-anak Gaza Dalam Kepungan Maut


Senin kelabu di Gaza. Pagi itu, sekelompok penggali kubur menyiapkan 15 liang lahat. Satu yang berukuran kecil untuk jasad  Yusif Al-Dalou, yang tewas bersama tujuh keluarganya sekaligus. Usianya masih teramat muda, lima tahun. 
Delapan tubuh kaku yang dibalut bendera Palestina diarak di jalanan kota menuju pemakaman diiringi tangis dan seruan kemarahan.  "Israel teroris," teriak massa, ditingkahi tembakan penghormatan ke udara.
Pemakaman utama Gaza ada di luar kota, dekat perbatasan dengan Israel. Terlalu riskan. Karena itu para kerabat membawa para jenazah ke Pemakaman Shaikh Radwan yang nyaris tak ada ruang kosong. 
Yusif dan keluarganya tewas dalam serangan rudal Israel Minggu (18/11/2012). Ia bukan satu-satunya bocah. Tiga nyawa saudaranya juga melayang. Mereka berusia dua, enam, dan tujuh tahun.
Seperti dimuat CNN, pejabat Israel berdalih, serangan ke rumah keluarga Dalou menargetkan pejabat militer Hamas. Namun ironisnya, yang jadi target lolos, anak-anak yang jadi korban.  
Sementara di rumah Dalou, mereka yang berduka menyambut kedatangan delegasi Mesir yang dipimpin Mohamed Katatni, pemimpin Partai Kebebasan dan Keadilan, sayap Ikhwanul Muslimin. 
Orang-orang yang murka bersumpah akan membalas dendam pada Israel atas nyawa anak-anak Gaza yang melayang. Mereka yang terlalu muda untuk memahami pertumpahan darah. "Akan terjadi eskalasi," kata Hamdi yang kakaknya terbunuh dalam serangan Israel Minggu lalu.

Tewas mengenaskan
Di suatu jalan lain, ledakan roket menghancurkan jalan, melontarkan potongan raksasa ke atas bangunan berlantai dua. Tepat di atas tempat tinggal sebuah keluarga dengan dua anak. 
"Bayi-bayi itu berada di bawah reruntuhan. Di sini dan di sini," kata bibi mereka sambil menunjuk ke arah puing-puing berkapur. Saat kejadian, dua balita itu sedang tidur bersama ayahnya. "Tiba-tiba rumah runtuh, saudaraku berlari menyelamatkan mereka. Terlambat, keduanya tertindih batu besar."
Dua bocah itu, berusia 2 dan 4 tahun tewas dalam kondisi mengenaskan. Percikan darah mereka masih tertinggal di antara puing. Sang ayah selamat.
Di apartemen bawahnya, mata ibu kedua korban bengkak akibat tangis. "Saya masih syok," kata perempuan 22 tahun itu.
"Aku tak percaya dua anakku pergi. Mereka sangat berharga. Aku tak tahu harus bagaimana lagi," kata dia,  menutupi muka dengan dua tangan, badannya terguncang hebat.

Trauma
Anak-anak Gaza hidup dalam suasana perang. Para bocah yang bertelanjang kaki bermain tembak-tembakkan, mengarahkan senjata mainan dari pipa karet ke atas langit, di mana jet F-16 dan pesawat pengintai Israel berseliweran. "Kami tak takut bom Israel," kata Sharif al-Ewad, 15 tahun. 
Psikiater Hasan Zeyada mengatakan, anak-anak di Gaza dalam kondisi trauma. Mengompol, mimpi buruk, kilas balik mengerikan, dan takut berada di tempat umum. "Namun, mereka dididik hanya untuk menunjukkan sisi kuat," kata dia.
"Saat tak ada lagi tempat aman, mereka meresponnya dengan wajar, dengan penyangkalan. Di situasi seperti Gaza, yang terbaik yang bisa dilakukan keluarga dan masyarakat adalah terus berada dekat anak-anak, berusaha sebisa mungkin untuk hidup normal."
Tapi, itu sama sekali tak mudah
Tanpa serangan Israel pun, PBB menyebut jalur Gaza tak bakal layak huni pada tahun 2020. Dan inilah kondisi Gaza saat ini, rumah bagi 1,7 warganya. Pemandangan kota itu seperti tayangan siaran langsung berita setelah gempa besar melanda: gundukan puing, tubuh tak bernyawa, ratapan korban, dan orang-orang yang kebingungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar