Senin kelabu di Gaza. Pagi itu, sekelompok penggali kubur
menyiapkan 15 liang lahat. Satu yang berukuran kecil untuk jasad Yusif
Al-Dalou, yang tewas bersama tujuh keluarganya sekaligus. Usianya masih teramat
muda, lima tahun.
Delapan tubuh kaku yang dibalut bendera Palestina diarak di
jalanan kota menuju pemakaman diiringi tangis dan seruan kemarahan.
"Israel teroris," teriak massa, ditingkahi tembakan
penghormatan ke udara.
Pemakaman utama Gaza ada di luar kota, dekat perbatasan dengan
Israel. Terlalu riskan. Karena itu para kerabat membawa para jenazah ke
Pemakaman Shaikh Radwan yang nyaris tak ada ruang kosong.
Yusif dan keluarganya tewas dalam serangan rudal Israel Minggu
(18/11/2012). Ia bukan satu-satunya bocah. Tiga nyawa saudaranya juga melayang.
Mereka berusia dua, enam, dan tujuh tahun.
Seperti dimuat CNN, pejabat Israel berdalih, serangan ke rumah
keluarga Dalou menargetkan pejabat militer Hamas. Namun ironisnya, yang jadi
target lolos, anak-anak yang jadi korban.
Sementara di rumah Dalou, mereka yang berduka menyambut kedatangan
delegasi Mesir yang dipimpin Mohamed Katatni, pemimpin Partai Kebebasan dan
Keadilan, sayap Ikhwanul Muslimin.
Orang-orang yang murka bersumpah akan membalas dendam pada Israel
atas nyawa anak-anak Gaza yang melayang. Mereka yang terlalu muda untuk
memahami pertumpahan darah. "Akan terjadi eskalasi," kata Hamdi yang
kakaknya terbunuh dalam serangan Israel Minggu lalu.
Tewas mengenaskan
Di suatu jalan lain, ledakan roket menghancurkan jalan, melontarkan potongan raksasa ke atas bangunan berlantai dua. Tepat di atas tempat tinggal sebuah keluarga dengan dua anak.
"Bayi-bayi itu berada di bawah reruntuhan. Di sini dan di
sini," kata bibi mereka sambil menunjuk ke arah puing-puing berkapur. Saat
kejadian, dua balita itu sedang tidur bersama ayahnya. "Tiba-tiba rumah
runtuh, saudaraku berlari menyelamatkan mereka. Terlambat, keduanya tertindih
batu besar."
Dua bocah itu, berusia 2 dan 4 tahun tewas dalam kondisi
mengenaskan. Percikan darah mereka masih tertinggal di antara puing. Sang ayah
selamat.
Di apartemen bawahnya, mata ibu kedua korban bengkak akibat
tangis. "Saya masih syok," kata perempuan 22 tahun itu.
"Aku tak percaya dua anakku pergi. Mereka sangat berharga.
Aku tak tahu harus bagaimana lagi," kata dia, menutupi muka dengan
dua tangan, badannya terguncang hebat.
Trauma
Anak-anak Gaza hidup dalam suasana perang. Para bocah yang bertelanjang kaki bermain tembak-tembakkan, mengarahkan senjata mainan dari pipa karet ke atas langit, di mana jet F-16 dan pesawat pengintai Israel berseliweran. "Kami tak takut bom Israel," kata Sharif al-Ewad, 15 tahun.
Psikiater Hasan Zeyada mengatakan, anak-anak di Gaza dalam kondisi
trauma. Mengompol, mimpi buruk, kilas balik mengerikan, dan takut berada di
tempat umum. "Namun, mereka dididik hanya untuk menunjukkan sisi
kuat," kata dia.
"Saat tak ada lagi tempat aman, mereka meresponnya dengan
wajar, dengan penyangkalan. Di situasi seperti Gaza, yang terbaik yang bisa
dilakukan keluarga dan masyarakat adalah terus berada dekat anak-anak, berusaha
sebisa mungkin untuk hidup normal."
Tapi, itu sama sekali tak mudah
Tanpa serangan Israel pun, PBB menyebut jalur Gaza tak bakal layak
huni pada tahun 2020. Dan inilah kondisi Gaza saat ini, rumah bagi 1,7
warganya. Pemandangan kota itu seperti tayangan siaran langsung berita setelah
gempa besar melanda: gundukan puing, tubuh tak bernyawa, ratapan korban, dan
orang-orang yang kebingungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar